ELSAM, Bogor – Ifdal Kasim, Ketua Komnas HAM Periode 2007-2012 menjelaskan pentingnya menyusun kebijakan untuk memaksa peran perusahaan sebagai aktor yang ikut betanggungjawab dalam menghormati HAM. Pernyataan ini disampaikan Ifdhal dalam sesi pelatihan seri kedua Pelatihan IMPACT (Indonesian Movement for Plantation and Human Rights Transformation Training) bagi organisasi masyarakat sipil yang diselenggarakan oleh ELSAM.
Dalam awal pemaparannya, Ifdhal mengajukan pertanyaan mendasar apakah ada hubungan antara bisnis dengan hak asasi manusia? Apakah dunia bisnis memiliki tanggung jawab untuk menghormati hak asasi manusia dalam hukum hak asasi manusia? Kalau ada, sejauhmana lingkup tanggungjawab korporasi dalam penghormatan hak asasi manusia? Pertanyaan-pertanyaan tersebut sangat penting untuk dijawab oleh pemerintah dalam memberikan koridor sampai sejauhmana relasi bisnis di Indonesia dapat ikut bertanggungjawab dalam menghormati hak asasi manusia. Apabila ingin diterapkan, pertanyaan selanjutnya bagaimana bentuk aturan normatif yang mengatur sepak terjang perusahaan tersebut agar secara sukarela atau berkewajiban ikut bertanggungjawab dalam menghormati hak asasi manusia.
“ Berdasarkan literature konsep klasik, Negara secara tradisional menjadi satu-satunya entitas penanggung jawab utama (primary duty-holder) bagi perlindungan HAM. Penyematan ini dilandasi asumsi sederhana karena hanya negara yang memiliki atribut kekuasaan yang dapat digunakan untuk melindungi hak asasi warga negara. Akan tetapi dalam perkembangannya kemudian, terdapat entitas aktor bukan-Negara (non-state actor), seperti perusahaan yang juga memikul tanggung jawab dalam pemajuan hak asasi manusia tetapi hanya dalam batasan arti respecting”, jelas Ifdal.
Ifdhal lebih lanjut menjelaskan bahwa dalam dunia Internasional memang diskursus pertanggungjawaban perusahaan untuk ikut menghormati (to respect) hak asasi manusia sudah mengemuka sejak UN Global Compact dibentuk pada 2000. Instrumen inisiatif PBB ini bersifat voluntary merupakan instrumen yang dapat dipergunakan untuk mendorong korporasi untuk bertanggung jawab secara sosial, termasuk terhadap hak asasi manusia. UN Global Compact memang tidak secara detail diperuntukan untuk menjadi instrumen yang mengatur bagaiaman bisnis bisa menghormati hak asasi manusia. Namun demikian menurur Ifdhal paling tidak komunitas internasional melalui UN Global Compact ini ingin membuktikan bahwa dunia bisnis tidak boleh melanggar HAM. Prinsip ke-2 menyatakan bahwa korporasi tidak boleh terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia.
Ifdhal melanjutkan, dalam perkembangnya, komunitas internasional kembali mencoba mengatur bentuk tanggungjawab perusahaan untuk menghormati hak asasi manusia, seperti yang diatur dalam ILO core conventin labor rights yang fokus mengatur perlindungan dan penghormatan perusahaan terhadap hak asasi tenaga kerjanya. Kemudian terdapat ISO 26000 mengenai standar tanggung jawab sosial perusahaan, termasuk priniciples on security and human rights. Selanjutnya terdapat inisiatif bebarapa perusahaan tambang untuk menghormati HAM. Selain itu, juga terdapat UN principles for responsible investments yang mengatur pentingnya lembaga pembiayaan mengatur kebijakan internal yang menghormati HAM.
Upaya komunitas internasional untuk menagih komitmen perusahaan semakin kuat ketika Dewan HAM PBB pada 2011 menyetujui “UN Guiding principles for the implementation of the protect, respect and remedy framework” yang merupakan intrument yang memang sengaja dibentuk untuk membahas relasi bisnis dan HAM. Selanjutnya panduan ini sering juga disebut Jhon Ruggie’s Principles.
“Dalam panduan itu, dijelaskan bagaiamana negara dan perusahaan sebagai aktor non negara dituntut untuk ikut menjalankan 3 pilar utama, yaitu tanggung jawab Negara untuk “melindungi” pelanggaran hak asasi oleh pihak ketiga, termasuk entitas bisnis, melalui kebijakan, regulasi dan ajudikasi yang memadai. Kemudian pilar kedua menyatakan bahwa perusahaan memiliki tanggung jawab untuk “menghormati” hak asasi manusia. Tanggung jawab untuk menghormati berarti perusahaan bertindak dengan cermat untuk menghindari pelanggaran terhadap hak orang lain. Selanjutnya pilar ketiga menekankan perluasan akses kepada korban untuk mendapatkan pemulihan yang efektif, baik melalui mekanisme pengadilan maupun di luar pengadilan”, tambah Ifdal.
Akan tetapi dalam realitasnya yang menjadi catatan penting bagi kita bersama, korporasi di Indonesia, termasuk industri perkebunan masih belum sepenuhnya menerapkan standar hak asasi manusia internasional yang sekarang berlaku untuk dunia bisnis. Lebih jauh, korporasi di Indonesia masih sering terlibat (complicity) dalam pelanggaran hak asasi manusia, terutama di sektor perkebunan, karena memang kebijakan yang dibentuk oleh pemerintah masih belum mengintegrasikan nilai-nilai hak asasi manusia internasional terkait relasi bisnis dan hak asasi manusia. Selain itu, belum tersedia mekanisme penyelesaian (resolving grievances) yang memadai bagi korban bila terjadi pelanggaran.