
Penambangan Pasir Ancam Kehidupan Masyarakat Pesisir Makassar
ELSAM, MAKASSAR—Kehidupan nelayan Pulau Kodingareng, Makassar, terancam oleh penambangan pasir laut oleh Kapal Queen of The Netherlands, milik PT. Royal Boskalis Wastminster N.V.
Penambangan pasir telah menyebabkan laut yang menjadi wilayah tangkap mereka tak dapat lagi diandalkan akibat terlau keruh.
“Kami nelayan Kodingareng merasa kesulitan atas apa yang terjadi di wilayah kami dengan adanya tambang pasir laut kapal Boskalis yang menyebabkan kekeruhan air yang begitu lebar dan luas dan arus timbal balik sehingga nelayan kecil mengalami kesulitan terutama nelayan pancing dan memanah,” tutur Iqbal, Ketua Perjuangan Nelayan Kodingareng, dalam workshop bisnis dan hak asasi manusia (HAM) yang digelar Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulawesi Selatan dan ELSAM, Selasa (7/11/ 2020) lalu.
Laut merupakan satu-satunya sumber penghidupan warga Kodingareng. Mereka, kata Iqbal, sulit membayangkan keberlanjutan hidup mereka jika tak bisa melaut lagi akibat aktivitas penambangan pasir.
“Bagaimana kira-kira kalau mereka jadi petani atau buruh bangunan kemudian istri-istri juga mau jadi TKW. Jika sudah berpikir begitu pasti tidak ada lagi penghuninya ini pulau, dan pemerintah otomatis akan mengambil karena sudah tidak ada lagi yang mau protes,” tambah Iqbal.
Muhammad Al Amin, Direktur WALHI Sulawesi Selatan, dalam forum yang sama mengungkapkan, pasir yang ditambang oleh kapal-kapal milik Boskalis tersebut digunakan untuk membangun proyek strategis nasional Centre Point of Indonesia (CPI) dan Makassar New Port (MNP).
Pengerukan pasir oleh Boskalis, sambung Amin, tak hanya terjadi di Coppong, wilayah tangkap nelayan Kodingareng. Sebelumnya Boskalis juga pernah masuk di Desa Sampulungan, Galesong Utara, hingga mengakibatkan abrasi yang cukup parah.
Akar permasalahan penderitaan nelayan dan pelanggaran HAM dimulai dari proyek CPI ini. “Itulah awal mula malapetaka masyarakat pesisir Sulawesi Selatan,” tegas Amin.
Nelayan yang dirugikan oleh panambangan pasir bersama organisasi masyarakat sipil di Makassar telah menempuh berbagai jalur untuk perlindungan dan pemulihan atas berbagai pelanggaran HAM yang terjadi terhadap mereka.
Beberapa mekanisme tersebut, lanjut Amin, di antaranya mengirim surat pengaduan ke Komnas HAM, Komnas Perempuan, Kedutaan Besar Belanda, Pengaduan ke OECD National Contact Point (NCP) Belanda, gugatan informasi ke Pengadilan Belanda.
Upaya lain yang juga ditempuh oleh mereka adalah mendesak lembaga pemberi jaminan di Belanda atau Astradius menghentikan pembiayaan proyek CPI.
Sejumlah upaya tersebut belum memperlihatkan hasil yang optimal. Hingga saat ini hak-hak masyarakat nelayan yang terdampak belum mendapatkan pemulihan yang memadai.
Edy Kurniawan, Wakil Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar yang juga pemateri dalam workshop itu mengatakan, sejumlah hambatan akan ditemui masyarakat nelayan ketika mencari keadilan melalui jalur hukum.
“Kita harus membuktikan apa betul kegiatan tambang itu merugikan masyarakat, Boskalis ini kan pindah-pindah jadi susah ditarget karena dia perusahaan Internasional. Kemudian, mekanisme pidana, kenapa tidak laporkan ke polisi? Karena pembuktian materi agak susah kalau mau masuk pidana, (perlu) ada (bukti) kerusakan, butuh ahli laboratorium, dan (aparat yang masih) lemah pemahaman lingkungan,” pungkas Edy yang juga merupakan pendamping hukum nelayan.
Sulitnya menuntut perusahaan bertanggung jawab atas pelanggaran HAM yang mereka lakukan antara lain dikarenakan belum ada instrumen hukum internasional yang mengikat. Penyusunan instrumen mengikat untuk perusahaan transnasional atau bisnis lainnya yang sedang berlangsung di PBB diharapkan dapat membantu mengurai hambatan-hambatan ini.
Penulis: Muhammad Busyrol Fuad