
Pembongkaran Masjid di Sintang, Pengingkaran Komitmen Perlindungan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan
Di Indonesia, kebebasan beragama dan berkeyakinan telah dijamin oleh Konstitusi, pula berbagai peraturan lainnya, salah satunya UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Perlindungan tersebut diperkuat dengan diratifikasinya Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik tahun 2005, yang mengikat Pemerintah Indonesia pada kewajiban untuk memajukan, melindungi, menghormati, dan memenuhi kebebasan dan hak-hak yang tercantum di dalamnya, termasuk kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Sayangnya, berbagai kasus memperlihatkan masih terdapat kesenjangan antara perlindungan normatif tersebut dengan realisasi perlindungan tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Kesenjangan tersebut salah satunya terlihat dalam kasus pembongkaran Masjid Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), Miftahul Huda di Sintang, Kalimantan Barat oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) pada Sabtu, 29 Januari 2022. Pembongkaran tersebut diduga merupakan tindak lanjut dari kebijakan Gubernur Kalimantan Barat (Kalbar) dan Bupati Sintang yang telah menerbitkan Surat Peringatan (SP3), dan surat tugas pembongkaran masjid yang menunjuk Kasatpol PP sebagai pelaksana.
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) menilai bahwa tindakan penyerangan dan pengrusakan tersebut selain merupakan bentuk pelanggaran terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan namun juga sebagai bentuk pengingkaran terhadap prinsip kebhinekaan Indonesia. Situasi ini salah satunya disebabkan, munculnya pihak-pihak (termasuk aktor negara) yang sering menganggap bahwa kelompok lain yang berbeda dengan dirinya adalah musuh yang dibenci. Kasus tersebut, kian menambah deretan kasus pelanggaran terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan yang telah meningkat dan mengambil banyak bentuk, mulai dari tingkat kebijakan hingga kekerasan horizontal antar kelompok masyarakat. Situasi ini terekam dalam berbagai laporan, tidak terkecuali laporan yang turut dirilis oleh negara lain, salah satunya Amerika Serikat.
Pada 2020, Amerika Serikat, melalui situs Kementerian Luar Negeri merilis laporan deretan berbagai bentuk pelanggaran kebebasan beragama di berbagai negara, termasuk Indonesia. Adapun beberapa diantaranya pembunuhan di luar hukum, dugaan pelanggaran berdasarkan Undang-Undang Penodaan Agama, larangan beribadah, kesulitan izin membangun atau menggunakan tempat ibadah, penutupan tempat keagamaan lainnya, pemaksaan belajar agama di sekolah, penggunaan parameter keagamaan untuk naik jabatan, kesulitan akses layanan pemerintah, kesulitan menikah beda agama dan penerapan syari’ah di Aceh.
Di tengah kubangan diskriminasi, stigmatisasi dan persekusi terhadap kelompok minoritas agama, Pemerintah Daerah dalam hal ini Bupati Sintang dan Gubernur Kalimantan Barat yang seharusnya memberikan perlindungan terhadap mereka sebagai warga negara, namun sebaliknya justru melakukan pelanggaran hak konstitusional warga JAI baik dalam bentuk tindakan langsung (by commission) maupun pembiaran (by omission).
Atas pelanggaran yang terjadi, pemulihan terhadap hak-hak korban tersebut merupakan sebuah keniscayaan. Bahkan, Komnas HAM telah merilis Standar Norma dan Pengaturan (SNP) tentang Hak atas Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan yang telah menandaskan bahwa Negara harus menjamin adanya pemulihan hak-hak para korban dengan memaksimalkan fungsi untuk melindungi setiap warga negara dan fungsi pelaksanaan kewajiban pemerintah dengan institusi dan aparat-aparatnya. Pemulihan kepada korban berlandaskan dua jenis pemulihan yaitu pemulihan prosedural dan substantif. Pemulihan prosedural diartikan sebagai sebuah proses terhadap tuntutan atas pelanggaran, yang didengar dan diputuskan baik oleh pengadilan, badan-badan administratif, atau badan-badan lainnya yang berwenang. Sedangkan pemulihan substantif adalah hasil dari proses untuk memulihkan hak yang dilanggar dengan syarat adanya prosedur yang efektif seperti mengembalikan kerugian yang timbul akibat pelanggaran; dan perbaikan yang layak, efektif, cepat dan proporsional dengan tingkat kerugian yang ditimbulkan.
Berpijak pada hal tersebut, Lembaga Studi dan Advokasi (ELSAM) mendesak:
- Seluruh kementerian/lembaga terkait untuk mengambil langkah-langkah yang dibutuhkan sesuai dengan kewenangannya, termasuk namun tidak terbatas dengan menghentikan pembongkaran, perusakan, dan alih fungsi masjid JAI;
- Menteri Dalam Negeri untuk mengevaluasi kinerja Gubernur Kalimantan Barat dan Bupati Sintang yang memberikan legalitas untuk pembongkaran Masjid Miftahul Huda di Sintang, dan mendorong agar tidak kembali terjadi pelarangan aktivitas keagamaan di wilayahnya;
- Pemerintah (kementerian/lembaga) terkait memastikan pemulihan hak-hak korban baik prosedural maupun substantif secara layak, efektif, cepat dan proporsional;
- Komnas HAM Republik Indonesia melalui Kantor Perwakilan Kalimantan Barat dapat segera mendorong penyelesaian dengan mengedepankan perlindungan hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan, serta melakukan langkah-langkah pemulihan terhadap para korban;
Jakarta, 31 Januari 2022
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM)
Untuk informasi lebih lanjut silahkan menghubungi Andi Muttaqien (Deputi Direktur ELSAM), telp: 08121996984, Muhammad Busyrol Fuad (Manajer Advokasi ELSAM), telp: 085655004863, Sayyidatiihayaa Afra G. Raseukiy (Staf Advokasi ELSAM) telp: 08788945619.