
Pedoman Uji Tuntas OECD untuk Perilaku Bisnis yang Bertanggung Jawab
Perlindungan hak asasi manusia (HAM) diawali dengan kesadaran penghargaan terhadap harkat dan martabat baik terhadap diri sendiri maupun orang lain atas fitrahnya sebagai manusia untuk diperlakukan dengan baik tanpa diskriminasi. Sejarah mencatat lahirnya Gerakan Perlindungan HAM dilatarbelakangi kesewenang-wenangan penguasa terhadap rakyatnya, atau oleh kelompok yang mendominasi terhadap kelompok marginal. Salah satu aturan terlama terkait dengan perlindungan HAM adalah Cicero Cylinder yang berupaya menghapuskan perbudakan, selain itu aturan perlindungan terhadap HAM dan lingkungan juga telah dikenal sejak jaman kuno dalam berbagai kebudayaan termasuk dalam pengaturan hukum perang. Para pemikir dan ahli di berbagai belahan dunia mengembangkan berbagai pemikiran untuk membangun kesadaran pentingnya perlindungan HAM akibat besarnya kesenjangan dan ketidakadilan yang dialami oleh berbagai kelompok dalam masyarakat. Cicero Cylinder, Piagam Madinah, Magna Charta 1215, Bill of Rights 1689, US Declaration of Independencce 1776, Declaration Du Droit de l’homme et du Citoyen 1789, Paris Principles 1919 adalah beberapa instrumen yang intinya berupaya untuk membatasi kesewenang-wenangan penguasa, memberikan jaminan dan perlindungan hak asasi manusia untuk setiap orang meskipun tidak menyebut secara harfiah dengan istilah “hak asasi manusia/HAM”. Dalam masa modern, dampak perang dunia yang sangat menyengsarakan manusia melatarbelakangi bangsa-bangsa di dunia untuk berkumpul dan melahirkan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia pada tahun 1948. Instrumen ini berisi prinsip-prinsip dasar penghormatan terhadap hak asasi manusia, tidak terkecuali hak untuk bekerja dan diperlakukan dengan layak termasuk jaminan kesejahteraannya. Karena sifatnya yang merupakan suatu deklarasi, instrumen ini disebut sebaga soft law yang mengikat bangsa-bangsa di dunia secara moral (morality binding). Meskipun demikian, lahir berbegai perjanjian internasional yang memberikan aturan lebih spesifik terkait jaminan perlindungan HAM diantaranya Kovenan Hak SIpil dan Politik 1966, Kovenan Hak-hak Ekonomi dan Budaya, Kovensi Hak Anak, Konvensi Penghapusan Diskrminasi terhadap Perempuan dan berbagai instrumen lainnya yang dibuat atas kesepakatan negara-negara dan bersifat mengikat secara hukum. Berdasarkan perkembangan perlindungan HAM yang juga tertuang dalam berbagai instrument hukum, Karel Vasak mengkategorikan HAM menjadi 3 generasi. Generasi pertama meliputi hak-hak sipil dan politik, generasi kedua meliputi hak-hak ekonomi-sosial budaya dan generasi ketiga yang disebut sebagai hak solidaritas dimana perhatian perlindungan HAM tidak hanya terkait hak individual namun juga hak kelompok seperti hak atas lingkungan yang baik, hak atas pembangunan yang berkelanjutan. Selama ini, pusat perhatian jaminan perlindungan HAM adalah negara dan masyarakat, di mana berdasarkan sejarah hal ini dilatarbelakangi oleh adanya kesewenang-wenangan penguasa yang dalam hal ini adalah raja atau negara terhadap rakyat sebagai kelompok yang diperlakukan sewenang-wenang. Oleh karenanya berbagai aturan dibuat untuk menghadirkan keseimbangan dimana hak asasi rakyat dapat dijamin dan dilindungi oleh negara dan negara pun dapat memberikan pembatasan dengan dasar yang dapat dipertanggungjawabkan untuk menjaga ketertiban umum. Namun, dalam perkembangannya, disadari bahwa negara bukanlah satu-satunya aktor yang dapat terlibat dalam perlindungan maupun pelanggaran HAM. Karl Rasche adalah pimpinan Dresdner Bank Jerman yang dihukum di pengadilan Militer Nurernberg pada tahun 1945 karena bank yang dipimpinnya memberikan utang kepada perusahaan yang melakukan perbudakan. Pengadilan ini juga megadilili kasus The Krupp Firm, sebuah perusahaan yang melakukan kerja paksa terhadap tawanan perang, warga sipil dan penghuni kamp kosentrasi. Kasus serupa juga terjadi dalam kasus Kinkaseki Mine yang diadili oleh British war crimes court 1947. Pengadilan-pengadilan ini mengakui adanya keterlibatan aktor non-negara, yaitu perusahaan, dalam pelanggaran HAM dengan mengadili orang-orang atas kedudukan dan keterlibatannya dalam perusahaan. Putusan pengadilan-pengadilan ini menyatakan bahwa perusahaan dan pegawainya dapat diminta pertanggungjawaban, meskipun perusahaan tersebut berkolaborasi dengan pemerintah. Pasca perang dunia II, berbagai kasus lain tercatat diantaranya Perusahaan minyak Shell di Nigeria yang mengabaikan dan melanggar hak kesehatan, hak lingkungan, dan hak pangan komunitas lokal yang merusak sendi kehidupan di Ogoniland. Selain itu, Unocal Incorp & Myanmar Oil Gas Enteprise diduga melakukan kerja paksa, eksploitasi buruh anak, memaksa penduduk local utk pindah (forced migration). Terbakarnya pabrik mainan Zhili di Shenzen pada tahun 1993 menewaskan 87 pekerja dan 47 orang luka akibat pabrik tidak dilengkapi fasilitas keamanan pekerja, selain itu tidak ada kompensasi bagi korban. Kasus ini berulang terjadi di Zihai pada tahun 1994 dan Shunda pada tahun 1995. Beberapa waktu lalu, Gerakan pemboikotan global terhadap produk-produk tertentu yang dianggap terlibat dalam pendanaan dan dukungan kejahatan kemanusiaan di Palestina memberikan dampak signifikan terhadap pendapatan produk-produk tersebut. Tidak hanya itu, tahun 2006, merk garmen terkenal di dunia, GAP, menutup 23 pabriknya atas temuan memperkerjakan buruh anak. Baru-baru ini, Zara dan H&M, juga merk fashion yang terkenal di dunia menjadi sorotan terkait pelanggaran dalam pemberian upah terhadap para buruh pabriknya yang jauh di bawah standar. Pembukaan informasi seperti ini oleh media massa yang dapat diakses oleh masyarakat umum tentunya sangat merugikan perusahaan. Kendati perusahaan pusat telah memiliki aturan mengenai standar yang harus dipenuhi, namun tidak sedikit aturan tersebut tidak dijalankan di pabrik yang berlokasi di wilayah yang berbeda. Umumnya, hal ini terjadi di negara-negara berkembang. Contoh-contoh kasus tersebut menunjukan bahwa perusahaan pun berperan penting dalam upaya pelindungan HAM. Pengabaian perusahaan terhadap HAM dapat menimbulkan berbagai dampak terutama kerugian bagi perusahaan baik sebagai akibat yang nyata terjadi (rusak/hilangnya modal dan aset) maupun akibat sebagai dampak lanjutan diantaranya merosotnya pendapatan perusahaan. Meningkatnya kesadaran bangsa-bangsa di dunia akan perlindungan HAM berdampak pada perhatian mereka (negara dan masyarakat) terhadap isu HAM dalam suatu perusahaan, tidak hanya terkait dengan manusia namun juga lingkungannya seperti digambarkan oleh Vasak sebaga bentuk HAM generasi ketiga. Memperhatikan berbagai fakta yang terjadi, kelompok pembela HAM mengajukan upaya agar perusaahaan dapat terikat dengan hukum internasional. Sedangkan kelompok bisnis merasa cukup dengan menaati aturan yang berlaku dimana perusahaan tersebut beroperasi, dimana perusahaan akan secara sukarela mengikuti praktik-praktik terbaik dalam upaya perlindungan HAM yang juga membiarkan pasar yang menentukan perubahan. Pemerintah mengalami posisi dilematis dimana di satu sisi ia mempunyai kewajiban sebagai masyarakat internasional dalam menaati jaminan pelindungan HAM dan memiliki kewenangan sebagai regulator, namun di sisi lain pemerintah pun berkepentingan dalam hubungannya dengan sector bisinis yang memiliki kekhawatiran atas kepentingan ekonomi misal terkait kurangnya atau hilangnya investasi dari perusahaan muti nasional, kalah dalam persaingan bisnis, bisnisnya terancam di negara lain dsb. John Ruggie, seorang ahli independent PBB untuk bisnis dan HAM mengajukan perlunya standar internasional yang mensyaratkan keberlakuan perjanjian internasional atau suatu praktik yang secara bertahap dapat membentuk hukum kebiasaan internasional untuk upaya pelindungan HAM dalam konteks bisnis yang dapat diikuti oleh semua pihak yaitu pemerintah, pelaku bisnis dan juga masyarakat. Gagasan ini kemudian tertuang dalam UN Guiding Principles on Business and Human Rights/UNGP (Pedoman Prinsip PBB dalam Bisnis dan HAM) yang disahkan melalui Resolusi Dewan HAM PBB pada 16 Juni 2011. Panduan ini memberikan kerangka global yang sama terkait standar normatif maupun kebijakan untuk pemerintah, pelaku bisnis maupun masyarakat yang meliputi 3 unsur yaitu pelindungan, perhargaan dan pemulihan (protect, respect, and remedy). Dalam proses dan pengesahannya, UNGP didukung oleh berbagai organisasi internasional yang terkait termasuk Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) yang beranggotakan 38 negara dari berbagai region. Sebagai tindak lanjut, OECD telah Menyusun berbagai panduan yang dapat digunakan oleh perusahaan untuk melaksanakan UNGP, diantaranya Pedoman Uji Tuntas untuk Perilaku Bisnis yang Bertanggung Jawab yang Anda baca saat ini. Buku Pedoman ini berjudul asli OECD Due Diligence Guidelines for Responsible Business Conduct yang diterjemahkan oleh ELSAM, Lembaga advokasi yang sangat giat bekerja sama dengan berbagai pihak untuk mempromosikan pelindungan HAM. Pedoman ini diharapkan dapat menjadi petunjuk bagi para pelaku usaha agar dapat sejalan dengan nilai-nilai HAM. Pedoman ini tidak hanya ditujukan bagi perusahaan besar, namun juga dapat digunakan oleh para pelaku usaha kecil menengah. Informasi mengenai hal-hal yang harus dilakukan dalam uji tuntas dan berbagai contoh permasalahan yang mungkin timbul disajikan dalam buku pedoman ini dalam bahasa Indonesia. Kami mengupayakan mengalihbahasakan dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia agar pedoman dapat mudah dipahami meskipun terdapat beberapa istilah yang barangkali belum lazim atau terdapat perbedaan dengan istilah yang digunakan dalam dunia bisnis, oleh karenanya kami tetap menyandingkan bahasa aslinya untuk memberi petunjuk kesamaan makna. Meskipun Indonesia belum menjadi anggota OECD, buku pedoman ini diharapkan dapat membantu para pelaku usaha, pemerintah Indonesia maupun masyarakat untuk melakukan uji tuntas atas perilaku bisnis yang bertanggung jawab, terlebih sangat dimungkinkan bahwa mitra bisnis para pelaku usaha mengacu pada pedoman ini dalam penilaian awal (pre-assessment) sebelum, ketika atau setelah menjalin kerja sama bisnis dengan berbagai pihak di Indonesia. Chloryne Dewi, Editor Unduh File