Menghimpun Suara Buruh Sawit untuk Perbaikan Prinsip dan Kriteria RSPO 2023
ELSAM bersama CNV Internationaal, FNV Mondiaal, Sawit Watch, Jejaring Serikat Pekerja/Serikat Buruh Sawit Indonesia (JAPBUSI), dan Koalisi Buruh Sawit (KBS) menyambut konsultasi publik P&C RSPO dengan mengadakan workshop

Menghimpun Suara Buruh Sawit untuk Perbaikan Prinsip dan Kriteria RSPO 2023

Kamis, 6 Jul 2023

ELSAM- Sepanjang Juni 2023 lalu Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) melakukan konsultasi publik kedua untuk menjaring masukan masyarakat terhadap draf Prinsip dan Kriteria (P&C) 2023. Kesempatan ini dimanfaatkan sejumlah pihak untuk memberikan catatan dan masukan terhadap standar sawit berkelanjutan lembaga sertifikasi sawit global tersebut.

ELSAM bersama CNV Internationaal, FNV Mondiaal, Sawit Watch, Jejaring Serikat Pekerja/Serikat Buruh Sawit Indonesia (JAPBUSI), dan Koalisi Buruh Sawit (KBS) menyambut konsultasi publik P&C RSPO dengan mengadakan workshop. Berlangsung pada 26 hingga 27 Juni lalu, workshop dihadiri peserta dari kalangan buruh sawit dan organisasi masyarakat sipil yang bergerak di isu perburuhan.

Imam A. El-Marzuq, Sr. Manager-Global Community Outreach & Engagement RSPO, dalam pemaparannya pada workshop hari pertama mengatakan, peninjauan standar RSPO 2023 menitikberatkan pada dua hal, yaitu auditability dan implementability.

Auditability terkait dengan bagaimana standar RSPO bisa diverifikasi, bisa diukur, dan dampaknya dapat diketahui. Sedangkan implementability, kata Imam, terkait bagaimana standar itu diterapkan dan memberikan hasil sesuai yang diharapkan. 

Imam melanjutkan, isu ketenagakerjaan menjadi salah satu yang paling banyak diperdebatkan dalam pembahasan di gugus tugas dan komite teknis. Pada draf standar RSPO 2023, ketentuan terkait perburuhan menurutnya didorong untuk diperkuat dan dilengkapi dengan informasi tambahan yang dapat memperjelas pelaksanaannya di lapangan. 

“Terkait ketenagakerjaan terdapat empat isu yang menjadi sorotan (gugus tugas dan komite teknis), yaitu  equity, living wage condition, force labour, dan occupational safety and health,” kata Imam.

Terkait isu equity atau kesetaraan standar RSPO terbaru didorong untuk dibuat lebih jelas dan menyediakan ketentuan mengenai peluang kerja yang setara, termasuk proses perekrutannya. Sementara pada isu living wage condition atau upah hidup menurut Imam terminologi yang kini digunakan RSPO adalah living wage, berubah dari sebelumnya decent living wage.

Untuk isu force labour terdapat dorongan agar indikator-indikatornya dijelaskan secara lebih rinci termasuk  ketentuan yang berhubungan dengan upaya mencegah kerja paksa. Demikian juga terkait isu kesehatan dan keselamatan kerja. Ketentuannya dalam draf terbaru kata Imam juga lebih rinci.

“Di draf ke-2 catatannya mencoba mengelaborasi lebih dalam upaya perlindungan pekerja, terutama dalam kondisi sakit atau cedera. Sehingga, ketentuan dalam standar itu perlu dipertegas dan peraturan penggunaan APD (alat pelindung diri) perlu diperkuat,” jelas Imam.

Menanggapi Imam, Ketua Umum DPP Federasi Hukatan KSBSI Nursanna Marpaung menyayangkan perubahan istilah decent living wage menjadi  living wage. Menurutnya, perubahan itu dapat disalahartikan menjadi pemberian upah secukupnya, bukan upah yang layak.

Kita ngotot ada decent living wage karena bisa beda interpretasi. Sudah pakai ‘decent’ saja di P&C RSPO 2018, perusahaan tidak mau jalankan. Ini tantangannya. Lalu, nanti seperti apa? Jangan nanti standar sudah rendah, diturunkan lagi.  Kalau tinggi, masih ada range untuk turun,” kata Nursanana dan didukung oleh peserta yang lain.

Menanggapi masukan Nursanna, Imam menjelaskan bahwa perubahan istilah dari decent living wage menjadi living wage tidak dimaksudkan untuk menurunkan standar pemberian upah.

perubahan istilah itu tujuannya untuk penyeragaman supaya tidak menimbulkan kebingungan.  Karena ada yang bertanya, apa yang dimaksud dengan decent living wage RSPO? Apa bedanya dengan living wage yang digunakan, katakanlah, di sektor forestry atau industri yang lain?  Sebenarnya, spiritnya tidak beda, berbasis pada upah yang berorientasi pada kelayakan hidup,” kata Imam.  

Misran Lubis dari Jaringan LSM untuk Penanggulangan Pekerja Anak (JARAK) mengomentari ketentuan terkait pekerja anak. Standar RSPO tentang anak menurutnya masih terbatas soal pengaturan pekerja anak. Pengaturan tersebut katanya perlu diperluas sehingga mencakup perlindungan hak-hak anak yang terdampak dari industri sawit.

“Dampak langsung atau tidak langsung dari operasional industri ini tidak hanya pada konteks pekerja anak.  Kalau konteks ini sudah clear sejak lama. Tapi dalam konteks lain, seperti penelantaran anak oleh pekerja karena harus mengejar target dan sebagainya perlu menjadi perhatian kita,” kata Misran.

Masukan dari peserta diberikan lebih lengkap dalam sesi diskusi kelompok. Selain soal hak anak, para peserta juga memberi catatan tentang kebijakan non-diskriminasi, kebebasan berserikat bagi pekerja, peran dan fungsi komite gender terkait prosedur penyelesaian kekerasan seksual, prosedur mengenai penghentian praktik pekerja paksa dan perdagangan manusia, dan kebijakan terkait kesehatan dan keselamatan kerja. 

Sebagai informasi, standar RSPO berisi prinsip, kriteria, dan indikator pengusahaan sawit berkelanjutan. Standar tersebut ditinjau dan perbarui setiap lima tahun sekali melalui serangkaian tahapan, salah satunya konsultasi publik. Draf standar RSPO terbaru dijadwalkan akan disahkan pada November 2023 nanti.

 

Penulis: Octania Wynn (Peneliti ELSAM)

 

A R T I K E L T E R K A I T

Sabtu, 16 Apr 2016
Jakarta (16/4) – Pada 15 s.d 17 April 2016, Bank Dunia dan International Monetary Fund (IMF) akan melaksanakan...
Selasa, 20 Jun 2017
ELSAM, Jakarta- Rencara Aksi Nasional (RAN) Bisnis dan HAM diperlukan untuk mengimplementasi The United Nations Guiding...
+