Memperkuat KKR Aceh, Mendekatkan Keadilan pada Korban

Memperkuat KKR Aceh, Mendekatkan Keadilan pada Korban

Selasa, 6 Nov 2018

Banda Aceh, ELSAM – Sudah dua tahun Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh (KKR Aceh) terbentuk. Tapi dukungan pemerintah, baik Aceh sendiri maupun pusat, tampak masih setengah hati.

Pekerjaan mengungkap kebenaran dan memulihkan korban pelanggaran HAM masa lalu di Aceh teramat besar; baik dari sisi jumlah korban maupun cakupan daerah yang harus dijangkau. Tanpa dukungan penuh pemerintah daerah dan pusat, kerja KKR Aceh memulihkan martabat korban sulit terwujud.

Namun, di tengah minimnya dukungan dan sejumlah keterbatasan lain komisioner dan staf kelompok kerja (Pokja) KKR Aceh terus bekerja. Mereka memiliki harapan besar KKR Aceh bisa mengungkap kebenaran dan mendekatkan keadilan bagi korban.

Hal ini terungkap dalam workshop yang digelar oleh Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) dan KKR Aceh, di Banda Aceh pada 29 hingga 31 Oktober lalu.

Ketua Komisoner KKR Aceh Afridal Darmi menuturkan timnya tidak pernah kehilangan harapan untuk menemukan titik terang terkait apa yang sebenarnya terjadi di Aceh pada masa lalu.

“Sekurang kurangnya kita bisa mewariskan praktik (membangun KKR). Kita siap menerima kegagalan dan kekerdilan KKR Aceh,” ungkap Afridal, Senin (29/10).

Salah satu kegiatan yang berhasil dikerjakan KKR Aceh sejauh ini adalah pengambilan pernyataan dari korban. Tim KKR Aceh telah mendata sekitar 500 pernyataan korban dari lima kabupaten. Rencananya, hingga akhir 2018 ini mereka akan melakukan pengambilan pernyataan di dua kabupaten lagi sehingga bisa tercapai tujuh kabupaten.

Terlantar

Kelahiran KKR Aceh merupakan mandat dari kesepakatan (MoU) damai antara kelompok perlawanan (GAM) dan pemerintah Indonesia di Helsinki pada 2005. MoU Helsinki sendiri menandai satu fase penting dalam dalam pertentangan antara kedua belah pihak. Setelah konflik berdarah yang berlangsung puluhan tahun dan banyak memakan korban masyarakat sipil, kedua belah pihak bersepakat untuk berdamai dan mengupayakan pengungkapan kebenaran dan pemulihan korban dampak konflik. MoU mengamanatkan pembentukan KKR Aceh untuk menjamin itu semua.

Sayangnya, niat mulia petinggi GAM dan RI di Helsinki itu hanya tinggal niat. Sebab kenyataannya KKR Aceh tidak mendapat sokongan memadai baik dari pemerintah Aceh saat ini, yang diisi banyak mantan kombatan GAM, maupun dari pemerintah RI. Ada kesan KKR Aceh dicurigai oleh kedua belah pihak.

“Dua kekuatan (GAM dan Pemerintah RI) ini sepakat negosiasi, tapi keduanya menjadi oposisi dari itu, agak sulit saya menjawab ini. Apakah negosiasi yang mereka lakukan itu main main tidak masuk akal juga,” tutur Ifdhal Kasim, Ketua Komnas HAM periode 2007-2012, dalam workshop.

Ifdhal mengumpamakan KKR Aceh seperti bayi yang tidak diakui oleh kedua orangtuanya sendiri. Di tingkat nasional KKR Aceh tidak mendapat legitimasi. Undang-undang tentang KKR sudah dibatalkan dan UU Pemerintahan Aceh menempatkan KKR Aceh sebagai bagian dari KKR nasional. Sementara KKR nasional sendiri hingga hari ini belum terbentuk. Satu-satunya legitimasi KKR Aceh saat ini adalah peraturan daerah, yaitu Qanun Aceh No. 17 Tahun 2013 tentang KKR Aceh.

Sementara itu, di tingkat lokal pemerintah Aceh seperti lepas tanggung jawab. KKR Aceh disokong Qanun dan diberi anggaran. Hanya saja ruang yang diberikan pemerintah Aceh kepada lembaga tersebut terlalu sempit untuk tugas yang begitu besar.

Diketahui hingga saat ini KKR Aceh tidak memiliki sekretariat dan anggaran yang mandiri. Lembaga dengan kewenangan mengungkap pelanggaran HAM masa lalu dan rekonsiliasi ini di tempatkan di bawah Dinas Sosial dengan anggaran yang sebenarnya dialokasikan untuk rehabilitasi korban kekerasan dalam rumah tangga. Dengan penempatan seperti itu, bisa ditebak berapa besaran anggaran untuk KKR Aceh. “Sekitar 4,5 miliar rupiah, per tahun,” kata salah satu komisioner KKR Aceh Evi Narti Zein.

Dengan posisi administrasi dan anggaran seperti itu, bisa dibayangkan apa yang bisa dilakukan KKR Aceh. Sebagai gambaran, KKR Aceh memiliki enam pokja yang masing-masing terdiri dari enam staf. Sebagai pekerja mereka tentu harus dibayar. Lalu bagaimana KKR Aceh dapat bekerja, dengan anggaran sisa yang minim tersebut?

Mencari Celah

Komisioner Komnas HAM periode 2012-2017 Roichatul Aswidah menyarankan agar Komisoner KKR Aceh dan peserta workshop tidak terpaku pada masalah. Sejumlah masalah yang dihadapai lembaga tersebut menurutnya merupakan hal lumrah. Semua lembaga yang bergerak di bidang perlindungan HAM mengalami hal serupa.

“Komnas HAM ketika pertama kali dibentuk hanya bermodal Kepres. Mandat tidak jelas. Kantor tidak punya, anggaran juga tidak ada,” kata Roichatul.

Hal terpenting dari KKRA saat ini menurutnya adalah meningkatkan kekompakkan antarkomisioner. Selain itu, komisioner juga perlu meningkatkan kepercayaan baik dari dalam KKR Aceh maupun masyarakat. Karena itu, lanjut Roichatul, KKR Aceh harus menunjukkan kinerja, agar masyarakat mengetahui apa yang selama ini dikerjakan.

Masalah KKR Aceh menurut Roichatul tidak sepenuhnya berasal dari luar. Koordinasi antar-lembaga yang bergerak di bidang HAM yang tidak terlalu bagus perlu ditingkatkan. Salah satunya terkait dengan data pelanggaran HAM di Aceh. Roichatul menyarankan agar KKR Aceh tidak memulai dari nol dalam pengumpulan data pelanggaran HAM. Penelitian dari lembaga HAM lain bisa dimanfaatkan sehingga kerja KKR Aceh bisa lebih efektif.

Selain itu, Roichatul juga mendorong KKR Aceh untuk meningkatkan komunikasi dengan kementerian dan lembaga yang terkati dengan perlindungan HAM. Selain untuk mendapat legitimasi, komunikasi yang baik dengan berbagai pihak diharap bisa menjadi sarana KKR Aceh mendapat perhatian bersama.

Workshop dihadiri sejumlah organisasi maryarakat (CSO) dari Aceh dan Jakarta. Selain Elsam, mereka yang adalah Kontras, Amnesty International Indonesia, Pulih Aceh, Relawan Perempuan untuk Kemanusiaan (RPUK), Asia Justice and Rights (AJAR), Pulih Aceh, PeKa Aceh, AJI, Tikar Pandan, PASKA, dan LBH Aceh,

Upaya mengungkap kebenaran dan rekonsiliasi di Aceh tidak bisa dilakuan KKR Aceh sendirian. Dalam worshop disepakati kerja sama dan pembagian tugas antar-CSO yang hadir. Dengan kesepakatan tersebut, diharapkan KKR Aceh menjadi lebih berdaya dan kerja pengungkapan kebenaran dan rokonsiliasi bisa maksimal.

Penulis: Sueb

A R T I K E L T E R K A I T

Senin, 30 Mei 2016
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) berencana untuk menerbitkan Rancangan Peraturan Menteri tentang Penyediaan Layanan Aplikasi dan/atau Konten Melalui...
Rabu, 21 Agt 2019
ELSAM, Jakarta – DPR bersikeras dapat mengesahkan RUU Perkelapasawitan meski mendapat penolakan baik dari pemerintah maupun...
+