Memastikan Kebijakan Keamanan Siber yang Berperspektif HAM di Indonesia

Memastikan Kebijakan Keamanan Siber yang Berperspektif HAM di Indonesia

Rabu, 22 Des 2021
ELSAM, Jakarta—Pandemi COVID-19 telah mengubah kebiasaan masyarakat. Banyak aktivitas yang sebelumnya dilakukan secara tatap muka, selama pandemi dilakukan secara daring.  Christopher Yonathan, Tech Consultant for HP Indonesia, Philippines and Pakistan, mengatakan peningkatan aktivitas daring selama pandemi juga beriringan dengan meningkatnya ancaman siber.  “77 persen ancaman keamanan siber meningkat,” kata Christoper, dalam Webinar “Memproyeksikan Arah Kebijakan Keamanan Siber Indonesia” yang diselenggarakan oleh ELSAM, Selasa (21/12/2021). Peningkatan ancaman siber yang terjadi saat ini sayangnya belum diikuti oleh kebijakan keamanan siber yang memadai.   Kepala Biro Hukum dan Komunikasi Publik Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), Christyanto Noviantoro, mengatakan kehadiran Undang-undang Keamanan dan Ketahanan Siber (UU KKS) dapat mengatasi berbagai persoalan dalam keamanan siber, salah satunya soal tumpang tindih kewenangan.   “Melalui UU KKS ini, kekosongan tugas atau tumpang tindih dalam penyelenggaraan keamanan siber dapat menjadi terisi dan tidak lagi berbenturan, dengan pelaksanaan tugas antar pemangku kepentingan yang lebih kolaboratif lagi,” kata Chrisyanto. Keberadaan UU KKS dinilai sangat penting. Namun draf RUU yang sempat mau disahkan pada 2019 itu bukan tanpa masalah.  Peneliti ELSAM Shevierra Danmadiyah dalam webinar yang sama mengatakan, setidaknya terdapat dua masalah terkait RUU KKS. Pertama, pembahasan RUU KKS menurutnya tidak melibatkan para pemangku kepentingan. Kedua, pengaturan dalam RUU KKS masih berpusat soal keamanan negara. Sementara  persoalan perlindungan terhadap keamanan individu, perangkat, dan jaringan dalam ruang siber tidak mendapat perhatian yang cukup. Mindset-nya seakan-akan kalau negara aman, masyarakat aman, gitu. Padahal seharusnya kita melihatnya terbalik, kalau masyarakat aman, maka negara aman,” kata Shevierra. Fitriani, Peneliti CSIS, menilai kebijakan keamanan siber masih belum saat ini masih belum memperhatikan persoalan kesenjangan gender.  “Kebijakan keamanan saat ini, tidak hanya di Indonesia, tapi di dunia secara umum itu buta gender,” kata Fitriani.  Dalam menciptakan kebijakan keamanan siber para pembuat kebijakan menurut Fitriani harus mempertimbangkan kelompok gender minoritas, baik perempuan maupun gender minoritas lainnya.   Amanda Dwi Cahyaningsih

A R T I K E L T E R K A I T

Jumat, 21 Agt 2015
ELSAM, Jakarta - Dinamika upaya penyelesaian pelanggaran HAM Masa Lalu yang terjadi selama ini seolah hanya memberikan dua...
Rabu, 14 Okt 2015
SIARAN PERS “Bela Negara oleh Kementerian Pertahanan adalah Kurang Tepat” Pemerintah melalui...
+